Mahasiswa Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor melalui serangkaian penelitian berhasil menemukan biotoilet yang bisa dimanfaatkan untuk daerah bencana seperti tempat pengungsian.
Humas IPB Ir Henny Windarti, M.Si dalam penjelasan di Bogor, Rabu (12/10), mengatakan, mahasiswa tersebut adalah Fauziah Nur Annisa, Septian Suhandono dan Yani Mulyani.
Ia menjelaskan penelitian inovatif mahasiswa itu diberi judul “Biotoilet berbasis sekam padi dan alkohol hasil fermentasi limbah agar-agar (Gracillaria sp.) sebagai solusi kelangkaan air bersih di daerah pengungsian”.
“Inovasi tersebut juga berhasil meraih juara I Lomba Inovasi Teknologi Lingkungan ( FTSL) di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya pada April 2011,” katanya.
Menurut Fauziah Nur Annisa, biotoilet merupakan alternatif baru karena toilet ini tidak memerlukan air yang banyak seperti toilet pada umumnya.
Biotoilet menggunakan bahan baku lokal yang bernilai limbah seperti limbah hasil pengolahan agar-agar dan sekam padi.
“Biotoilet ini pun cocok dibuat pada keadaan darurat dan tempat krisis air seperti pada tempat-tempat pengungsian karena tidak mencemari lingkungan, dan mencegah timbulnya penyakit akibat sanitasi buruk yang biasanya dijumpai pada tempat-tempat pengungsian,” kata koordinator kegiatan “Indonesian Climate Student Forum” itu.
Ia menjelaskan, kebutuhan padi sebagai makanan pokok bangsa Indonesia meningkat dari tahun ke tahun sehingga mengakibatkan limbah sekam yang dihasilkan makin melimpah.
Jumlah sekam bervariasi tergantung pada kondisi penggilingan padi. Dari penggilingan padi dapat dihasilkan 65 persen beras, 20 persen sekam, dan sisanya hilang. Sedangkan dalam sekam sendiri mengandung senyawa organik berupa lignin dan chetin, selulosa, hemiselulossa (pentosan), senyawa nitrogen, lipida, vitamin B, asam organik, dan lainnya.
Dalam sekam padi terdapat 34,34-43,80 persen selulosa yang memiliki sifat di antaranya luas permukaan dan porositas tinggi (85 – 90 persen ruang udara) yang mampu menahan air sebesar 35 – 40 persen. Dengan jumlah yang cukup banyak ini, selulosa dapat menjadi terobosan alternatif sebagai bahan untuk menyerap cairan dan bau yang dihasilkan dari kotoran pada konsep kerja biotoilet.
Selain itu basis dari biotoilet adalah alkohol hasil fermentasi limbah agar-agar. Limbah industri agar-agar (Gracillaria sp.) merupakan salah satu sumber bahan baku industri kertas yang potensial.
Selain itu, toilet kering ini tidak menebarkan bau layaknya “septic tank” biasa, serta tidak memerlukan saluran pembuangan khusus. Bioteilet cocok jika diaplikasikan pada daerah bencana yakni tempat-tempat pengungsian yang sifatnya darurat dan sementara.
Ia menambahkan, biotoilet dirancang khusus sehingga tidak menimbulkan pencemaran karena kotorannya ditampung ke dalam “dry box” yang terbuat dari baja dan lapisan “stainless steel” yang cukup tebal.
Dikemukakannya, “dry box” itu diisi juga dengan sekam padi yang berfungsi untuk menyerap cairan dan bau yang dihasilkan dari kotoran. Kotoran langsung ditangkap sekam padi di “dry box” (kotak reaktor) yang berada di bawah lubang toilet.
“Limbah secara alami terurai menjadi CO2 dan H2O dan tidak memerlukan bakteri khusus, juga tidak menimbulkan bau,” katanya.