Embung, Solusi Cadangan Air Saat Kemarau

MASYARAKAT di sejumlah daerah masih harus berjalan belasan kilo meter untuk mendapatkan air bagi kebutuhan rumah tangga, tanaman. Komoditas pertanian mati dan gagal panen, adalah informasi yang saban hari banyak diketahui publik saat musim kemarau tiba.

Tak terkecuali pada musim kemarau 2019 yang melanda di Tanah Air. Kondisi semacam itu masih saja berlangsung hingga saat ini, memasuki akhir bulan Agustus.

Terkait musim kemarau, seperti dilansir Kantor Berita Antara, pada pekan pertama Maret 2019 Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal menjelaskan bahwa datangnya musim kemarau berkaitan erat dengan peralihan angin baratan (Monsun Asia) menjadi angin Timuran (Monsun Australia). Peralihan peredaran angin monsun itu akan dimulai dari wilayah Nusa Tenggara pada Maret 2019, lalu wilayah Bali dan Jawa pada April 2019.

Kemudian sebagian wilayah Kalimantan dan Sulawesi pada Mei 2019 dan akhirnya Monsun Australia sepenuhnya dominan di wilayah Indonesia pada bulan Juni hingga Agustus 2019.

Dari total 342 Zona Musim (ZOM) di Indonesia, sebanyak 79 ZOM (23,1 persen) mengawali musim kemarau pada bulan April 2019, yaitu di sebagian wilayah Nusa Tenggara, Bali dan Jawa.

Wilayah-wilayah yang memasuki musim kemarau pada bulan Mei sebanyak 99 ZOM (28,9 persen) meliputi sebagian Bali, Jawa, Sumatera dan sebagian Sulawesi. Sementara itu, 96 ZOM (28,1 persen) di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Papua masuk awal musim kemaraunya di bulan Juni 2019.

Kala itu BMKG mengingatkan masyarakat bahwa perlu diwaspadai wilayah-wilayah yang mengalami musim kemarau lebih awal, yaitu di sebagian wilayah NTT, NTB, Jawa Timur bagian timur, Jawa Tengah, Jawa Barat bagian tengah dan selatan, sebagian Lampung, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan dan Riau serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.

Kewaspadaan dan antisipasi dini juga diperlukan untuk wilayah-wilayah yang diprakirakan akan mengalami musim kemarau lebih kering dari normalnya, yaitu di wilayah NTT, NTB, Bali, Jawa bagian selatan dan utara, sebagian Sumatera, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Merauke (Papua).

Secara umum puncak musim kemarau 2019 terjadi pada bulan Agustus-September 2019.

Imbauan itu disampaikan BMKG kepada lembaga terkait, seperti pemerintah daerah dan seluruh masyarakat untuk waspada dan bersiap terhadap kemungkinan dampak musim kemarau, terutama wilayah yang rentan terhadap bencana kekeringan meteorologis, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dan ketersediaan air bersih.

Embung

Dampak musim kemarau seperti diingatkan BMKG adalah bencana kekeringan, seperti karhutla dan ketersediaan air, baik air bersih maupun air dari irigasi untuk pertanian.

Kantor Berita Antara melaporkan, problematika yang dihadapi terkait sumber daya air ini, sebenarnya tidak hanya saat musim kemarau, namun juga terjadi di saat musim hujan di mana air berlimpah.

Alat ukurnya adalah saat musim kemarau, ladang dan sawah acap kali kekeringan dan sebaliknya di musim hujan, ladang dan sawah banyak yang terendam air.

Itu sebabnya Menteri PUPR Basuki Hadimuljono pada peringatan Hari Air Dunia Tahun 2019 bertema “No One Leave Behind” — yang diadaptasi dalam tema Indonesia “Semua Harus Mendapatkan Akses Air” meminta agar momentum itu dipakai untuk meningkatkan perhatian publik akan pentingnya air dan pengelolaan sumber-sumber air yang berkelanjutan.

Dalam kaitan pengelolaan sumber-sumber air — apakah untuk kebutuhan air bersih maupun irigasi pertanian dan perkebunan — Basuki Hadimuljono memaparkan program Kementerian PUPR diarahkan agar semua orang mendapatkan akses air.

Dari total anggaran Kementerian PUPR Tahun 2019 sebesar Rp110,73 triliun, alokasi anggaran sumber daya air sebesar Rp39,7 triliun.

Ia menyebut potensi air di Indonesia cukup tinggi sebesar 2,7 triliun meter kubik per tahun. Dari volume tersebut, air yang bisa dimanfaatkan sebesar 691 miliar meter kubik per tahun di mana yang sudah dimanfaatkan sekitar 222 miliar meter kubik per tahun untuk berbagai keperluan, seperti kebutuhan rumah tangga, peternakan, perikanan dan irigasi.

“Namun potensi sebesar itu keberadaannya tidak sesuai dengan ruang dan waktu, sehingga kita membutuhkan tampungan-tampungan air. Dengan begitu pada saat musim hujan air ditampung untuk dimanfaatkan musim kemarau. Itulah gunanya bendungan dan embung/setu untuk penampungan air,” katanya, seperti dilansir Kantor Berita Antara.

KELOMPOK Tani Sarimukti membangun kincir air untuk mengairi areal sawah yang dibuat secara swadaya di Aliran Sungai Citanduy, Desa Manggungsari, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa, 9 Juli 2019. Memasuki musim kemarau petani setempat lebih memilih menggunakan kincir air dibandingkan alat pompa air karena biaya yang lebih efisien dengan jumlah tiga kincir air bisa mengairi lahan pesawahan 3-4 hektar. */ANTARA

Pengertian embung, atau ada pula yang menyebutnya setu dan istilah lainnya, secara prinsip adalah tempat menampung air.

Embung dalam Wikipedia disebut adalah “kolam besar” yang dibuat untuk menampung air, baik yang berasal dari hujan, limpasan permukaan maupun mata air.

Tujuan pembuatan embung selain untuk menyediakan cadangan air untuk mengantisipasi kekeringan di musim kemarau, dapat juga berfungsi mengatasi genangan yang tidak terkendali di musim hujan.

Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PPI-KLHK) dalam laporan bertajuk “Embung untuk Pertanian: Penentuan Lokasi, Rancangan dan Pembuatan Embung untuk Pertanian : Upaya Menghadirkan Solusi Permanen Mengatasi Kritis Kekeringan” kerja sama Kementerian Pertanian dan Institut Pertanian Bogor, (2016) juga menyebut embung sebagai “kolam besar” untuk penampungan air.

Laporan itu menyebutkan untuk mengantisipasi kelebihan air pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau diperlukan suatu sistem pengaturan air, dan embung dapat dijadikan inovasi adaptasi untuk mengatasi masalah ini.

Tujuan pembuatan embung dapat dijadikan wadah untuk menampung air pada waktu air sangat melimpah dan menyimpan air untuk kemudian disalurkan ke sawah atau pertanian pada saat musim kemarau.

Konstruksi embung sekurang-kurangnya terdiri atas bangunan embung, saluran pemasukan air, saluran pengeluaran air dan pelimpas. Bangunan embung dibuat dengan melakukan penggalian tanah.

Diperlukan teknologi

Meskipun secara umum embung adalah tempat menampung air, namun tetap dibutuhkan teknologi tepat guna, murah dan mudah diwujudkan untuk mengatur ketersediaan air agar dapat memenuhi kebutuhan air, yang kian sulit dilakukan hanya dengan sekadar cara-cara alamiah.

Karena itu, teknologi untuk mengisi embung adalah salah satu pilihan untuk menyikapi musim kemarau. Idealnya, tentu teknologinya sederhana dengan biaya terjangkau bagi petani.

Teknologi untuk embung sebenarnya sudah pernah dibuat oleh Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) IPB pada 2016.

Seperti dilaporkan Kantor Berita Antara, Dekan Fateta IPB Prof Dr Kudang Boro Seminar menjelaskan bahwa awalnya Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Fateta-IPB melakukan kerja sama dengan PT Teknindo Geosistem Unggul dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Kemudian, ditindaklanjuti dengan membangun dan meresmikan embung penampung kelebihan air hujan pada musim hujan dengan teknik “geomembrane”.

Dosen Teknik Sipil dan Lingkungan Fateta IPB Prof Dr Budi Indra Setiawan yang juga tenaga ahli Bidang Infrastruktur Pertanian, Kementerian Pertanian (Kementan) menjelaskan bahwa IPB sudah membuat embung sejak tahun 1990 dengan menggunakan lapisan dari semen. Namun, tidak tahan lama karena banyak yang retak-retak lalu bocor.

Kemudian, digagas kerja sama dengan PT Teknindo Geosistem Unggul, di mana pembangunan embung digantikan dengan lapisan “geomembrane”, yaitu berupa lapisan tipis yang menyerupai plastik hitam, sehingga tahan terhadap bocor.

Tujuan pembuatan embung adalah menyediakan air untuk pengairan tanaman di musim kemarau, meningkatkan produktivitas lahan, masa pola tanam dan pendapatan petani di lahan tadah hujan, mengaktifkan tenaga kerja petani pada musim kemarau sehingga mengurangi urbanisasi dari desa ke kota, mencegah/mengurangi luapan air di musim hujan dan menekan risiko banjir serta memperbesar peresapan air ke dalam tanah.

Ketua Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Fateta IPB Dr Desrial menambahkan salah satu cara untuk menanggulangi kekurangan air di lahan sawah tadah hujan adalah dengan membangun kolam penampung air atau embung. Selain itu, embung juga dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga.

Perkembangan teknologi semacam itu agaknya bisa dikembangkan terus sehingga embung sebagai salah satu penampung air mampu menjadi solusi mengatasi ketersediaan air secara optimal, baik saat musim kemarau atau penghujan.***

Sumber : pikiran-rakyat.com

Related Posts

Leave a Replay

Recent Posts

Follow Us

Play Video