Seiring dengan meluasnya sosialisasi tentang kesehatan dan kandungan gizi yang terkandung pada pangan organik, popularitas pangan organik pun turut meningkat di kalangan masyarakat. Masyarakat pun mulai banyak yang beralih ke pangan organik untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Namun, para ahli menjelaskan dengan sudut pandang berbeda. Menurut ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor Ali Khomsan, istilah organik kini digunakan secara terbatas untuk produk-produk tanaman yang hanya sedikit/tidak menggunakan pestisida dan pupuk buatan.
Pertanian organik lebih sering dikaitkan dengan pupuk kandang, kompos dan pestisida alami. Merujuk pada peraturan Departemen Pertanian Amerika Serikat, pangan yang dijual di pasaran boleh mengklaim diproduksi secara organik apabila sedikitnya 50 persen bahan penyusunnya diproduksi secara organik.
Sedangkan, untuk pangan kemasan dipersyaratkan 95 persen bahannya dihasilkan melalui pertanian organik. Pangan kemasan itu juga tidak boleh mengandung nitrat, nitrit dan sulfit.
“Peraturan-peraturan tersebut belum seketat itu diterapkan di Asia,” ujar Ali.
Meski semakin populer, Ali menyatakan belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa pangan yang dihasilkan dari pertanian organik itu lebih sehat, lebih bergizi dan lebih aman.
Mengutip pernyataan beberapa pakar lainnya, ia mengatakan jika pangan organik mempunyai kandungan gizi dan tingkat keamanan pangan yang relatif sama dengan pangan konvensional lainnya.
“Malah ada yang mengkhawatirkan dari penggunaan pupuk kandang, yakni kemungkinan kontaminasi bakteri yang mungkin terjadi pada produk pangan organik. Sebuah penelitian di University of Georgia menunjukkan bahwa pangan organik sedikit lebih besar peluangnya untuk tercemar E.coli, bakteri yang sering menyebabkan sakit perut,” terangnya.
Dengan fakta tersebut, Ali menyatakan bahwa keuntungan paling utama mengonsumsi bahan pangan organik adalah ramah terhadap lingkungan. Penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang merusak lingkungan bisa ditanggulangi.
Namun, jika petani menggunakan pestisida dan pupuk secara terkontrol, proses produksi yang dilakukan tetap akan ramah terhadap lingkungan. Hal ini yang sering luput dari perhatian petani yang berasal dari negara-negara berkembang, seperti Indonesia.
Jika demikian, konsumsi bahan pangan konvensional pada dasarnya tetap berdampak baik pada kesehatan. Residu pestisida yang tertinggal pada bahan pangan nonorganik itu bisa ditangani jika dibersihkan dengan baik sebelum diolah dan dikonsumsi. Meski demikian, pilihan akhir tetap berada di tangan konsumen.
“Kalau toh pangan organik tidak lebih bergizi dan tidak lebih aman daripada pangan konvensional, tetapi mungkin ada di antara mereka yang merasakan bahwa pangan organik lebih enak. Atau mereka ingin menunjukkan kepada lingkungan sekitarnya tentang gaya hidup baru dengan hanya mengkonsumsi pangan organik,” tukasnya.
Sumber : http://www.metrotvnews.com