Peneliti asal Institut Pertanian Bogor (IPB) menjelaskan bahwa lahan gambut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan hutan tanaman atau perkebunan dengan penggunaan teknologi yang tepat tanpa perlu kekhawatiran terhadap lepasnya emisi gas rumah kaca.
Demikian dinyatakan oleh dosen peneliti Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Fakultas Pertanian yang juga merupakan pakar gambut IPB, Dr Basoeki Soemawinata, pada diskusi panel Menakar kebijakan Pengelolaan Lahan Gambut di Indonesia yang diselenggarakan Pusat Kajian Strategis Kehutanan di Jakarta, Rabu.
“Pemanfaatan lahan gambut bisa dilakukan dengan menerapkan teknologi ekohidro. Teknologi ini bisa diterapkan di seluruh lahan gambut di Indonesia,” kata Basoeki.
Ekohidro adalah teknologi yang berupaya mempertahankan kelembaban lahan gambut dengan menjaga cadangan air yang ada.
Basoeki mengakui, penerapan teknologi tersebut membutuhkan investasi yang tidak sedikit sehingga hal itu menjadi resiko yang harus ditanggung oleh perusahaan yang mengelola lahan gambut.
Dia juga mengingatkan, lahan gambut adalah lahan yang sangat miskin unsur hara, sehingga hanya investor dengan dukungan finansial yang kuat yang dipastikan mampu mengelolanya.
“Jenis tanamannya pun tertentu, misalnya acasia crasicarpa,” ujarnya.
Basoeki menyayangkan kebijakan pemerintah saat ini yang membatasi pemanfaatan lahan gambut, padahal akan ada potensi ekonomi yang hilang apabila tidak termanfatkan sementara banyak masyarakat bergantung hidup pada kawasan gambut.
Pemanfaatan lahan gambut saat ini diatur berdasarkan Keputusan Presiden No.32 tahun1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang mana salah satunya larangan pemanfaatan lahan gambut dengan kedalaman di atas 3 meter.
Basoeki menegaskan ketentuan tersebut tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat
Menurut Basoeki, kebijakan yang membatasi pemanfaatan gambut lebih dipengaruhi oleh tudingan dan desakan asing bahwa Indonesia bertanggung jawab atas rusaknya kawasan gambut dan pelepasan emisi karbon.
“Yang lebih ironis, pemerintah kemudian memberlakukan moratorium pemanfaatan lahan gambut sejak tahun 2010. Padahal, dasar kebijakan yang diambil tidak bisa dipertanggung jawabkan,” katanya.
Basoeki mengungkapkan hasil penelitian yang dilakukanya membuktikan emisi karbon pada hutan tanaman dengan jenis tanaman acasia crasicarpa di lahan gambut terbukti tidak lebih tinggi jika dibandingkan dengan hutan alam.
Kepala Badan Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan Iman Santoso sepakat bahwa lahan gambut bisa dimanfaatkan untuk pengembangan hutan tanaman.
Namun dia mengatakan kehati-hatian tetap diperlukan untuk mempertahankan keberadaan lahan gambut itu sendiri.
“Teknologi ekohidro memang terbukti bisa diterapkan di lahan gambut, khususnya di Riau. Untuk di wilayah lain, mungkin perlu penyesuaian,” katanya.
Iman mengingatkan, upaya pengelolaan lahan gambut diperlukan terkait upaya pelestarian perlindungan dan pemanfatan lahan gambut secara lestari.
Dia juga menekankan, pemanfaatan lahan gambut harus berdampak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Untuk itu keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan tanaman sangat diperlukan.
Berdasarkan data Kemenhut, saat ini terdapat 236 unit izin usaha pemanfatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hutan tanaman industri dengan luas izin 9,8 juta hektare. Sekitar 2 juta di antaranya atau sekitar 21 persen berada di lahan gambut.
Sumber : www.theglobejournal.com